christianity

Ceritaku tentang Kebencian terhadap Diri Sendiri

8:14 PM

Pernahkah kau merasa sangat membenci dirimu sendiri? Sangat, amat, membenci dirimu sendiri sampai kau menangis tiada henti, tersedu-sedu sampai kau bingung kapan harus menarik napas di tengah-tengah isak? Kesalahan di masa lalu terus-menerus merundung hatimu bagai bayangan yang tidak pernah lepas. Di satu saat bayangan itu tidak tampak, namun di saat lain bayangan itu berdiri begitu tinggi di hadapanmu sampai kau merasa sangat putus asa. Dan kesunyian di dalam kamar adalah satu-satunya hal yang dirasa menemani dirimu yang perlahan semakin ditelan oleh kesedihan.

Sobat, kau tidak sendiri. Aku juga mengalaminya. Dan mungkin, orang-orang lain di sekitarmu juga pernah mengalaminya.

Hari ini aku menangis tersedu-sedu di atas bantalku karena bayangan itu kembali muncul di hadapanku. Begitu tinggi dia berdiri sehingga gelap jalanku dibuatnya. Aku tidak bisa memandang ke depan; yang kulihat hanyalah tembok gelap keputusasaan yang terus membuatku merasa bersalah. Perasaan bersalah ini semakin lama membunuhku; sedikit-sedikit diambilnya kebahagiaanku sampai jiwa ini terasa kosong.

Tidak ada yang bisa mengerti. Sudah banyak kata-kata kubagikan kepada teman-teman di sekitarku  sebagai ungkapan hati agar setidaknya bayangan itu bergeser atau memudar sedikit. Tolonglah, aku hanya ingin bisa melihat ke depan dengan jelas! Menyingkirlah dari hadapanku! Aku ingin sekali meneriaki bayangan itu, mendorongnya, menyingkirkannya. Tetapi seperti mencoba mendorong tembok, tentu saja bayangan itu tetap bergeming sekeras apapun aku mencoba menggesernya.

Aku sadar, aku yang berkata-kata dalam cerita yang kusampaikan hanyalah aku yang berusaha mencari-cari alasan dan pembenaran. Aku mencarinya karena aku putus asa dan lelah bergelut dalam kesalahan. Dan keputusasaanku itu malah membuat bayangan itu semakin besar, merundungku ke mana-mana. Membuat rasa bersalahku semakin tersulut menjadi kepahitan yang membenci diri sendiri. Tidak ada beban yang terangkat dari hatiku; hanya terasa kekosongan yang mendalam.

Mungkin itulah masalahnya. Hatiku hampa, tetapi yang kulakukan adalah berusaha mengeluarkan isinya karena terasa menyesakkan. Aku malah berusaha mengeluarkan beban yang sebenarnya tidak pernah ada di hatiku. Kekosongan itulah yang menyesakkanku.

Dan bagaimana caranya kau mengeluarkan kekosongan? Bukankah seharusnya kau mengisinya?

Aku mencari-cari hal lain agar setidaknya kesesakan ini tidak terlalu menyiksaku. Membaca, menonton, bermain media sosial, mendengarkan musik, bercerita (ya, aku melakukannya lagi),  bermain game, semuanya kucoba. Sesaat, mungkin aku merasa sedikit lebih baik, namun di saat lain perasaan itu kembali dihisap oleh si bayangan yang membuat sesak itu.

Sampai di suatu titik aku sadar bahwa sebenarnya aku sama sekali tidak mengisi kekosongan itu. Aku lari dari padanya.

Aku lari, ke sana kemari, dalam keputusasaan mencoba kabur dari si bayangan, sempat merasa sudah lolos sebelum akhirnya bayangan itu kembali menerkamku. Rasanya lebih sesak lagi dibanding yang pertama.

Dan aku mulai terisak-isak lagi. Namun si bayangan tetap pada pendiriannya.

Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus kita lakukan? Masih bergunakah kita berharap si bayangan akan berbelas kasihan pada kita?

Tetapi bayangan hanyalah bayangan tanpa emosi apapun kecuali membatu.
Mulailah aku mengutuki diriku sendiri, menyalahkan diriku, membenci diriku sampai berharap hari ini adalah hari terakhir aku ada.

Namun setiap hari pula aku membuka mataku di atas kasur yang menatap langit-langit. Membuatku semakin membenci diri sendiri.

Sampai suatu saat aku tidak tahan lagi. Aku menangis begitu rupa, pecah begitu saja dan kata-kata mengalir begitu deras dari hatiku. Aku merindukan satu Pribadi yang aku mengaku kupercayai, namun seringkali aku gagal dalam benar-benar mempercayai-Nya.

Aku tidak tahu. Selama beberapa hari, mungkin hampir menjadi beberapa minggu, hubunganku dengan-Nya terasa kering sekali. Berdoa, saat teduh, dan ibadah menjadi formalitas belaka. Ya, aku  selalu berdoa memohon-mohon supaya aku boleh dikuatkan menghadapi si bayangan, tetapi aku merasa sepertinya Dia hanya diam saja. Aku bahkan sempat meninggalkan formalitas itu. Aku juga melakukan dosa tanpa merasa bersalah. Aku merasa sangat kosong, kering, dan sangat jauh dari Dia. Seakan-akan Dia terus memunggungiku dan tidak peduli.

Namun, aku sendiri tidak setia bersandar kepada-Nya. Aku egois mempertahankan kekosonganku, berusaha mencari-cari hal lain untuk mengisinya, namun pada kenyataannya aku hanya berlari sia-sia. Padahal sumber pengisi kekosonganku adalah Dia. Yang harus kulakukan adalah benar-benar  fokus mempercayai-Nya dan merelakan yang lainnya. Tetapi kedagingan ini selalu lebih menang. Pikiranku selalu mencari hal lain. Hatiku selalu menginginkan yang lain.

Tetapi saat itu aku berteriak, "Tuhan, keluarkan aku dari kekosongan yang perlahan mematikanku ini. Buat aku gelisah karena kesalahanku, tetapi tenangkanlah jiwaku dari bayangan penuduh yang membuatku membenci diriku sendiri."

Dan aku bersyukur, saat itu aku bisa menangis tanpa merasa kosong. Saat itu kekosonganku diisi oleh-Nya. Saat itu Dia mengusir si bayangan penuduh. Dia menawarkan kepahitanku. Dia mengubah kebencianku dengan kasih-Nya.

Tetapi tentu saja si bayangan penuduh itu tidak tinggal diam. Dia terus menerus mendatangiku kembali, menunggu untuk menyerang di saat aku lemah. Dan tentu saja, aku jatuh lagi berkali-kali. Aku kembali membenci diriku berkali-kali.

Namun, berkali-kali juga Dia mengulurkan tangan-Nya kepadaku.

Sobat, memang tidak mudah melawan kebencian terhadap diri sendiri. Aku pun masih bergumul. Saat aku menuliskan postingan ini mungkin aku sedang pada kondisi "lebih baik", namun si bayangan penuduh suatu saat akan menyerang. Tetapi tidak apa-apa. Ini adalah sebuah proses, sebuah perjalanan iman. Proses di mana kita semakin ditumbuhkan lewat kegagalan-kegagalan yang kau alami.

Alkitab berkata, "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12). Dan ketika kau kesulitan berdoa, ketika kau hanya merasakan kesunyian dan tidak tahu harus berkata apa, ingatlah bahwa memang "kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan." (Roma 8:26).

Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus. (Roma 8:27)

Dia tahu apa yang sebenarnya yang kita maksudkan dalam doa meskipun kita kesulitan berkata-kata dalam doa. Dia tahu apa yang menjadi kegelisahan kita meskipun saat berdoa rasanya kita hanya menjumpai kesunyian. Dia membuka tangan-Nya kepada kita di saat kita mengira Dia memunggungi kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah benar-benar percaya.

Jangan andalkan dirimu sendiri dalam memerangi kebencian terhadap diri sendiri. Aku sudah gagal berkali-kali. Aku lelah. Kau juga lelah, 'kan? Mari bersama-sama berjalan bersama Dia. Dan kalau kau belum mengenal-Nya, mari, aku bersedia menceritakan tentang Dia kepada-Mu. Mari, kita saling mendoakan, dan kau boleh kapan saja mengontakku lewat blog ini, atau melalui media sosial lain yang kau dan aku punya.

Semoga siapa pun yang membaca ini boleh terberkati. Aku mengasihi kalian semua.

Interlude

6:01 PM

Aku ingin menulis lagi.

Ya, aneh 'kan? Setelah sekian lama aku tidak menulis, disibukkan oleh berbagai hal yang aku tidak tahu pasti ke mana arahnya. Seperti tidak berarti. Seperti hanya mengikuti arus, diombang-ambingkan ke sana kemari.

Orang-orang bilang, paling enak mengikuti sistem. Ya, aku tahu mengikuti sistem itu baik, tapi untuk apa mengikuti begitu saja suatu sistem yang di mana kita terjebak di dalamnya? Untuk apa menjalaninya hanya untuk menyelesaikannya? Setelah sistem itu selesai dijalani, lalu apa?

Aku tidak mau menjadi "mati" seperti orang-orang di sekitarku.
(atau mungkin aku sendiri yang "mati"?).

Aku tidak mau berjalan menyusuri lorong-lorong waktu dengan garis akhir yang samar semaraknya. Oke, bagi orang lain mungkin garis itu garis yang semarak sekali, tetapi bagiku pribadi, aku tidak tahu.

Orang-orang mungkin berpikir aku begitu bodoh karena masih memikirkan sistem lain di mana aku sudah berada dalam suatu sistem yang cukup baik dengan garis akhir yang terjamin. Tetapi aku tidak menyukainya.

Aku merasa tempatku bukan di sistem ini.

Bukan berarti aku tidak mensyukuri sistem yang kujalani sekarang. Aku mengerti, mengikuti passion semata bukanlah tindakan yang bijak dalam keadaanku ini. Aku mensyukuri setiap proses yang membentukku dalam sistem ini. Aku mensyukuri setiap kesempatan, perubahan, teman-teman, dan perjalanan imanku. Tanpa sistem yang kujalani, aku tidak akan bisa menjadi pribadiku yang sekarang. Aku mungkin tidak akan menulis postingan ini di sini. Hanya saja aku.. tidak ingin berjalan lebih jauh lagi dalam sistem ini.

Aku tertarik sekali untuk melanjutkan pendidikanku, namun tidak dalam satu sistem yang sama. Aku ingin kembali pada passion-ku. Aku ingin menjalani lorong-lorong waktu yang baru dalam sistem yang lain.

Ya, aku ingin memulainya lagi dari awal. Membaca setiap bahan fisika yang bisa kudapat. Tergila-gila dengan penurunan rumus dan penyelesaian masalah. Belajar kalkulus dari awal lagi. Membaca setiap buku-buku fisika yang menarik. Sebut aku gila, but physics is my first love.

Aku mau S2. Aku mau sekali, kalau disuruh untuk bermimpi aku akan bermimpi melampaui langit. Hanya saja aku mungkin tidak akan melanjutkan kefarmasianku. Kalau pun iya, mungkin hanya akan menyenggol sedikit.

Aku mencintai fisika. Aku tahu itu. Mungkin mulai sekarang blog ini akan aku penuhi dengan tulisan-tulisan kontemplasiku, termasuk tentang hal ini. Yang jelas, ya, aku akan kembali menulis.

Aku akan kembali menulis.